KHUTBAH JUM'AT : Memilih pemimpin

Hadirin Jama’ah Shalat Jum’at yang berbahagia,

Arti dari ayat yang baru saja kita dengar adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah,
bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang
beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari
amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar
berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah – berargumen dengan ayat ini
atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat,
baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat
militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya.
Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia
memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan
diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Barangsiapa yang
memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi
kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan
harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang
yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah
mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman
(as-Siyaasah asy-Syar’iyah: 14).

Ibnu Taimiyah melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan
kepada anaknya, maka ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan
haknya. Ada juga orang, yang karena ingin menambah kekayaan atau demi
mengamankan usahanya ia berkolusi untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang
yang berlaku demikian, kata ulama yang lebih dikenal dengan syaikhul
Islam ini, telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga mengkhianati
amanat yang dipercayakan kepadanya (ibid. hal: 15).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa
memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu
demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al
Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan
Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan
mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama
(Muqadimah Ibnu Khaldun: 211).

Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa fungsi jabatan
apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini
berlaku untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti
presiden, panglima perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain
sebagainya., sampai jabatan terendah seperti pimpinan rombongan dalam
sebuah perjalanan. (al Hisbah: 8-14).

Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena ia
akan dipertanggungjawabkan di dunia kepada rakyat, dan kepada Allah
kelak di akhirat. Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang
sempat meminta jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah
amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan
penyesalan, kecuali bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan
tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim, no:1826).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Terdapat beberapa indikator di dalam Al-qur’an, sebagai acuan kita dalam
memilih pemimpin. Pertama, bahwa seorang kandidat harus memiliki track
record yang baik sebelum ia diangkat sebagai pemimpin, ia memiliki misi
dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan
keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika
Allah swt. mengangkat nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin bagi seluruh
manusia, karena prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang
diembannya. Ibrahim dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid
dan mengembalikan loyalitas dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah
semata. Sejak remaja, ketika ia berhasil menumbangkan berhala-berhala
lalu ia dibakar hidup-hidup, hingga usianya yang senja, ketika diuji
agar menyembelih putranya, Ismail, dan membangun Ka’bah sebagai lambang
kemurnian tauhid, Ibrahim tetap konsisten dalam memegang idealismenya,
yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam semesta. Namun ketika
Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak keturunannya sebagai
pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak boleh
orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah:
124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang
yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas
panggung kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh.
Tepatlah ucapan khalifah Umar bin Khatthab ra. dalam sebuah do’anya, “Ya
Allah, ku mengeluh kepada-Mu, mengapa sang pendosa memiliki kekuatan
sedang orang yang terpercaya seringkali lemah” (al Hisbah: 15).

Kedua, kita harus mengangkat pemimpin yang seiman. Allah berfirman,
“Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai wali
(pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang
beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka..” (QS. Ali Imran: 28).

Ketiga, memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul kelompok,
partai, dan relasi-relasi dekat sang kandidat. Karena betapapun bersih
dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan,
kelompok atau partai yang busuk, lambat laun keshalihannya akan terkikis
dan keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi
menjustifikasi prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi”. (QS. Ali Imran: 118).

Keempat, pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang yang
ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan
untuk menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala
jalan dan menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, di
antaranya menyuap (/money politic/), memalsukan berkas-berkas pencalonan
dan sebagainya. Ketika berhasil menjabat, orang demikian, tidak akan
segan-segan melakukan praktek kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi
sebesar-besarnya, sekalipun dengan melanggar HAM atau merusak flora dan
fauna. Firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada
Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang
paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi
untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah:
204-205).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Selain itu, masih terdapat indikator-indikator lain dalam memilih
pemimpin dalam Alqur’an, seperti ia harus mempunyai intergritas keilmuan
yang terkait dengan kepemimpinannya, sehat jasmani-ruhani dan
sebagainya. (QS. Al-Baqarah: 247 dan Al-Qashash: 26).

Di alam demokrasi, seperti di negeri ini, di mana kedaulatan dalam
memilih pemimpin dan wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan, baik
pada tingkat nasional maupun lokal, berada di tangan setiap individu,
kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan kandidat pemimpin
yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan dan
moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib
memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi
dan misi dakwah rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan
secara konstitusional sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita
bakal diperintah oleh sekelompok orang yang tak segan-segan
menyengsarakan umat dan bangsa ini ke depan. Na’udzu biLlah min dzalik.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَاكُمء بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ

وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ِCONTOH UNDANGAN SHOLAT JENAZAH ARAB MELAYU

khutbah Jum'at (Rahasia Gerakan Shalat)