aspek JUJUR dalam Islam
Ada beberapa
aspek JUJUR dalam Islam:
Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)
Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.
Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)
Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.
Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, kita sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.
Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)
Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.
Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)
Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.
Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, kita sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.
Ayat ke 119
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا
مَعَ الصَّادِقِينَ (119)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (9: 119)
Iman kepada Tuhan memiliki derajat dan tingkatan. Sedangkan
merasa sudah beriman kepada Allah Swt dan Hari Kiamat tidaklah cukup. Karena
itu iman haruslah disertai dengan kejujuran dan teremplementasikan dalam
pekerjaan sehari-hari. Iman kepada Allah dan Hari Kiamat bukanlah sesuatu yang
diucapkan dengan lisan saja. Memang benar bahwa hanya dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap dan diperlakukan sebagai muslim.
Akan tetapi, untuk mencapai derajat seorang mukmin, seseorang harus membuktikan
kejujuran kalimat syahadat yang ia ucapkan itu dengan melaksanakan taat dan
menjauhi maksiat, sehingga dia akan terselamatkan dari api neraka.
Meski iman kepada Allah terdapat di dalam hati, namun ia
perlu diikrarkan secara lisan dan perbuatannya sama satu dan tidak
berbeda. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh lisan haruslah menjadi
keyakinan dalam hati, kemudian terejawantahkan dalam perbuatan, yang
mencerminkan kejujuran keislaman yang diucapkan dengan lisan. Oleh karena itu,
Allah Swt dalam ayat ini berpesan agar orang-orang mukmin menjadi orang yang
bersih dan jujur, serta selalu berada bersama orang-orang yang jujur dan benar.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Selalu bersama orang-orang saleh, baik dan jujur
merupakan jalan pendidikan bagi manusia agar terjauhkan dari jalan yang
menyimpang dan sesat.
2. Kejujuran dan kebenaran seberapapun kasarnya memiliki
nilai di sisi Allah. Sebagaimana Allah swt telah mengenalkan para wali-Nya yang
maksum sebagai orang-orang "Shadiqin".
Ayat ke 120-121
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ
الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا
بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا
نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ
الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ
عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (120) وَلَا
يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا
إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(121)
Artinya:
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka
daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak
ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula)
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak
menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka
dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (9: 120)
Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan
bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (9: 121)
Meski ayat-ayat tadi berbicara tentang penduduk Madinah dan
sekitarnya, akan tetapi sebagaimana ayat-ayat al-Quran lainnya, ia tidak
terbatas hanya pada orang, tempat dan zaman tertentu, tapi mencakup seluruh
kaum Muslimin. Maka berdasarkan ayat-ayat ini, amal saleh bukanlah semata-mata
berbentuk perbuatan ibadah, akan tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan karena
Allah, akan termasuk ke dalam kategori amal saleh.
Begitu juga seorang mukmin yang bekerja di atas jalan Allah
dengan susah payah menanggung haus dan lapar, juga disebut amal saleh dan Allah
akan memberikan pahala-Nya kepada mereka. Segala kesulitan dan problema yang
dihadapi dan dipikul dengan tabah oleh suatu masyarakat Islam karena embargo
ekonomi yang diberlakukan oleh musuh-musuh Islam, juga dikategorikan sebagai
amal saleh. Segala bentuk gerakan sosial masyarakat, seperti unjuk rasa dan
demo untuk menunjukkan kemarahan kepada musuh-musuh Allah, sehingga semakin
memperkuat barisan kaum Muslimin, maka berdasarkan ayat-ayat di atas, juga
disebut sebagai amal saleh. Dan sudah pasti Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan
perbuatan mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat
dipetik:
1. Menjaga kemuliaan dan kerhormatan Nabi Saw sebagai
pemimpin masyarakat Islam, lebih penting daripada menjaga jiwa kaum Muslimin.
Karena itu kaum Muslimin wajib menjaga kehormatan dan kemuliaan Nabi meski
harus mempertaruhkan jiwa mereka.
2. Memang untuk memperoleh pahala dan balasan Allah, manusia
harus tetap menjaga komitmen dan tabah menanggung kesulitan.
3. Berbagai perbuatan baik sedikit ataupun banyak, tetap
akan diperhitungkan di sisi Allah Swt.
Ayat ke 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا
نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(122)
Artinya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. (9: 122)
Dalam kebudayaan Islam, hijrah untuk menuntut ilmu
pengetahuan tidak kurang nilai pahalanya daripada pahala orang yang pergi untuk
berjihad melawan musuh. Karena ayat ini berbicara kepada orang-orang Mukmin
dengan menyatakan, Sebagian orang harus siap, dan guna mengenal kedalaman agama
Allah ini, manusia harus berhijrah dari desa dan kota mereka kemudian kembali
ke kampung halaman, lalu menyampaikan ajaran dan hukum-hukum Islam kepada
kaumnya.
Sebagaimana diketahui, agama merupakan sekumpulan dan seperangkat
nilai yang terdiri dari usul dan furu'uddin, yang harus diketahui oleh setiap
orang mukmin. Adapun dalam berbagai riwayat, istilah fikih berhubungan dengan
hukum-hukum agama Islam yang menjelaskan hal-hal wajib, haram, mustahab dan
makruh. Nabi Muhammad Saw sewaktu mengutus Imam Ali bin Abi Thalib as ke Yaman,
beliau memerintahkan kepadanya agar mengajarkan fikih kepada masyarakat,
sehingga merka dapat menerapkan hukum-hukum Allah sebagai peraturan dan ajaran
Islam. Imam Ali as juga berpesan kepada putra beliau dengan mengatakan,
"Dalam Islam, fikih merupakan peraturan yang harus diamalkan. Sedemikian
tingginya peran fikih ini, sehingga para fuqaha disebut sebagai pewaris anbiya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berhijrah memerlukan komitmen Iman, guna mengenal dan
mendalami agama Islam, yang tak lain adalah untuk menyelamatkan agama Islam itu
sendiri.
2. Pada saat berperang pun, kaum Muslimin tidak boleh lalai
dan melupakan perjuangan membina pemikiran, keyakinan dan akhlak masyarakat.
3. Para penuntut ilmu mengenal 2 tahap hijrah. Pertama,
hijrah menuju ke pusat-pusat ilmu pengetahuan, dimana mereka menuntut dan
mencari berbagai ilmu pengetahuan. Sedangkan yang kedua ialah hijrah untuk
mengajarkannya kepada orang lain. (IRIB Indonesia)
Komentar
Posting Komentar